04 Maret 2009

Ilustrasi : Seni sederhana tanpa pembakuan.

Merasa ragu akan sesuatu dan terus bertanya adalah proses yang umum dimiliki oleh setiap ‘individu’ yang sedang belajar. Adalah tugas individu itu untuk mencari pencerahan dan arah yang benar. Bertanya konon adalah sifat seorang individu yang terdidik. Tentu saja hal itu tidak akan tercapai jika individu-individu tersebut setelah dengan berani melemparkan wacana, kemudian hanya diam-diam saja manakala diajak untuk membahas hal-hal yang telah dia lontarkan.

‘Ilustrasi’ di atas harusnya cukup untuk ‘menggambarkan’ apa yang diharapkan ada di sanubari individu-individu di komvis.com. Paling tidak itulah yang terjadi pada saya setelah membaca artikel yang akhir-akhir ini di tulis oleh individu yang malang melintang di komvis.com. Adakah ini sebuah tanda-tanda terbentuknya komunitas pembelajar yang akan terus bertanya ? Berani mengungkapkan pendapat dan mau terbuka dalam berdiskusi? Mudah-mudahan saja hal tersebut akan segera menjadi kenyataan dalam waktu dekat ini.

Sengaja saya ambil kata ‘ilustrasi’ dan ‘menggambarkan’ karena pertama-tama saya ingin menanggapi artikel yang sudah di tulis dengan gagah berani oleh saudara Meda: Ilustrasi sebuah misteri ambiguitas nan memusingkan. Sebuah judul yang patut di acungi jempol karena istilah yang di ambil cukup bombastis apalagi mengingat saya sendiri tidak memiliki tabungan kata-kata se-keren ambiguitas. Memang seperti yang di katakan oleh Meda dalam artikel tersebut, bahwa kesimpulan umum khalayak terhadap ‘Ilustrasi’ barulah mencapai pada tahapan bentuk. Bahwa bentuk ilustrasi yang paling mudah di kenali oleh masyarakat adalah dalam bentuk ‘gambar’, dan sesederhana itu.

Apakah tingkat pemahaman terhadap ilustrasi yang sesederhana itu merupakan dosa kolektif masyarakat dan menunjukkan kurangnya penghargaan terhadap ‘kecanggihan’ ilustrasi dalam seni rupa? Saya rasa bukan itu pula yang di sasar oleh Meda. Mungkin apa yang ingin di bahas adalah kurangnya kajian di kalangan Ilustrator dan Disainer terhadap Ilustrasi itu sendiri. Mereka yang seharusnya tau lebih banyak soal Ilustrasi ternyata banyak yang tingkat pemahamannya baru sebatas bentuk ‘gambar juga. Lantas apakah ini juga sesuatu yang salah?

Mari sekali lagi kita masuk ke Ilustrasi yang sudah di terangkan dengan cantik oleh Meda sebagai berasal dari kata ‘Ilustre’ yang berasal dari kata Yunani. Sayang saya bukanlah seseorang yang ahli soal kata dan asal-usulnya mungkin untuk hal ini kita bisa bertanya pada para Munsyi yang sering mengisi kolom di harian nasional. Terlepas dari apa makna kata ilustrasi sudah kita pahami bahwa fungsi Ilustrasi adalah menerangkan, memperjelas, mewakili, sehingga dengan demikian kita dapat memperkirakan bahwa mestilah ada sesuatu yang lebih abstrak yang coba di terangkan dalam bentuk ilustrasi.

Menerangkan, memperjelas dan mewakilkan sebuah bentuk ke dalam bentuk lain adalah bentuk perkembangan komunikasi yang ada di masyarakat. Kita sering menggunakan singkatan, simbol, dsb dalam menulis, berhitung, dan berbicara dan itu kita lakukan secara sadar karena adanya situasi dan kondisi tertentu. Disanalah fungsi ilustrasi, dia harus menerangkan, memperjelas, dan mewakilkan bentuk lain yang dirasa kurang jelas sehingga pesan yang lebih besar dapat sampai ke khalayak. Dengan demikian meski penting ‘Ilustrasi’ umumnya tidak berdiri sendiri, dari ilustrasi yang menjelaskan bagaimana memakai pelampung dalam keadaan darurat hingga ilustrasi di komik yang menjelaskan cerita terdapat bentuk komunikasi lain yang membutuhkan dukungan ilustrasi.

Mengenai ilustrasi bisa berkembang dalam bentuk lain seperti musik, untuk memperjelas duduk perkaranya bolehlah kita sedikit menyimpang untuk soal ini dengan membahas asal muasal musik sebagai ilustrasi. Sebagai bentuk komunikasi visual tidak selamanya gambar hanya berfungsi sebagai pelengkap dia bisa juga menjadi bagian yang utama (bahkan sebenarnya aksara pun berasal dari gambar) hal tersebut makin menjadi ketika ditemukan film oleh Lumiere, sayangnya film pertama belum bersuara. Sewaktu di putar untuk membangun kesan dari film yang di tayangkan di pakailah musisi untuk mengiringi dengan lagu-lagu yang memiliki irama yang sesuai, dari sanalah istilah ilustrasi musik menjadi populer.

Apakah dengan ini diskusi mengenai ilustrasi sudah berakhir? Sama sekali belum malah seharusnya ini menjadi titik awal bagaimana memahami ‘Ilustrasi’. Ilustrasi bukanlah ‘sesuatu yang berkurang nilai seninya’ meski dia hanya berfungsi sebagai pelengkap. Tetapi sebagai salah satu produk kesenian yang ditunjukkan tentunya masalah penghargaan menjadi hak khalayak. Jika ada khalayak yang menghargai ilustrasi sebagai lukisan yang di koleksi tentulah sebagai ilustrator kita harus angkat topi, tetapi jika tidak kita tentu tak perlu mencap orang itu miskin apresiasi. Harus diingat kekuatan ilustrasi sebagai sebuah produk seni milik orang banyak sehingga tak perlu di buat aturan-aturan kaku mengenai bagaimana mengapresiasinya. Ilustrasi berkomunikasi sehingga dia tidak memerlukan seseorang untuk menjelaskan apa makna yang ada di baliknya. Memaknai ilustrasi adalah hak masing-masing individu.

Biarkanlah apresiasi muncul apa adanya, sebagai seorang ilustrator tanggung jawab yang di embannya adalah memperkuat pesan yang ada. Pertanyaan apakah pesan tersebut berhasil memecahkan problema sosial yang ada? Harus di jawab dengan pertanyaan apakah tanggung jawab seorang ilustrator adalah memecahkan masalah sosial? Pertanyaan apakah ruang lingkup disain menghargai pekerjaan ilustrator? Harus juga di jawab dengan mengapa saya menjadi ilustrator? Apakah karena bayarannya ataukah karena saya seorang ilustrator? Dan terakhir apakah sekolah seni rupa perlu membuka jurusan ilustrasi? Harus di jawab dengan pertanyaan apakah seorang ilustrator memelukan gelar ilustrator?

Tulisan ini ditulis bukan untuk memulai polemik tetapi melengkapi opini yang sudah ada, tanggapan untuk artikel ini dapat di layangkan ke forum komvis.com dengan topik Ilustrasi vs Disain vs Khalayak?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar